Pengemudi Ojol Menjerit

Pengemudi ojek online menjerit karena aplikasi ojol memberlakukan potongan hingga 30 persen dari tarif perjalanan. foto: Istimewa--
Layanan ojek online telah menjadi bagian vital dari sistem transportasi nasional.
Ia telah membantu masyarakat menjangkau berbagai titik dengan cepat dan efisien.
Namun, keberlangsungan layanan ini sangat bergantung pada keseimbangan antara keuntungan perusahaan dan kesejahteraan mitra pengemudi.
Jika terus dibiarkan timpang, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap layanan ojol akan menurun drastis.
Keseimbangan inilah yang kini dituntut oleh para pengemudi.
Pemotongan 30 persen dari pendapatan pengemudi ojek online adalah simbol dari ketimpangan yang terjadi dalam dunia kerja digital. Pemerintah tidak bisa tinggal diam.
Perusahaan aplikasi harus diajak duduk bersama untuk menata ulang sistem yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Karena jika tidak, maka profesi sebagai pengemudi ojol yang dulunya menjadi simbol kemajuan digital Indonesia—akan berubah menjadi potret keputusasaan di era modern.
Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menilai bahwa mengubah status mitra pengemudi menjadi karyawan tetap berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi para mitra pengemudi ojek daring.
Menurut Neneng dalam jumpa pers di Jakarta Selatan, Jumat (13/6), apabila seluruh mitra pengemudi harus diangkat menjadi karyawan, hanya sebagian kecil yang kemungkinan besar bisa diserap oleh perusahaan.
Keterbatasan itu didasari oleh pertimbangan hak-hak yang harus dipenuhi perusahaan kepada karyawan seperti gaji, cuti, pensiun, dan lainnya.
Ia mencontohkan kasus di Spanyol di mana pada tahun 2021 pemerintah negara tersebut mengeluarkan kebijakan Riders' Law yang mewajibkan mitra kurir daring diangkat menjadi karyawan.
Saat penerapannya, salah satu aplikasi yang beroperasi di negara tersebut hanya mampu mengangkat 17 persen mitra pengemudi menjadi karyawan tetap.
"Kebayang kalau di Indonesia hanya 17 persen yang bisa diserap, yang lain mau ke mana? Bagaimana mereka mendapatkan income (pendapatan)?" ujar Neneng.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa status sebagai karyawan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dibandingkan dengan skema kemitraan.