Pengemudi Ojol Menjerit

Pengemudi ojek online menjerit karena aplikasi ojol memberlakukan potongan hingga 30 persen dari tarif perjalanan. foto: Istimewa--

Permasalahan ini menunjukkan perlunya sistem pengawasan yang lebih kuat terhadap operasional perusahaan aplikasi.

Tak hanya dari sisi regulasi, tapi juga dalam pelaksanaan teknis dan pengawasan harian.

Beberapa pengemudi bahkan menyebut bahwa potongan tidak hanya berlaku pada tarif perjalanan, tapi juga pada insentif, bonus, dan fitur penalti yang kerap merugikan mereka.

“Kalau kita tolak orderan, bisa kena suspend. Kalau hujan deras dan tidak narik, bonus hangus. Semua serba diatur aplikasi, kita hanya jadi robot,” ujar Tyo (29), pengemudi ojol di Palembang.

Mengingat kontribusi besar para pengemudi ojol terhadap layanan transportasi nasional, muncul desakan dari berbagai komunitas untuk segera dibuatnya Undang-Undang khusus tentang transportasi daring.

Langkah ini dianggap sebagai solusi jangka panjang untuk memastikan kesejahteraan pengemudi sekaligus menjaga keberlangsungan industri.

“Regulasi yang ada sekarang belum cukup kuat. Perlu undang-undang yang secara spesifik mengatur hak, kewajiban, dan perlindungan hukum bagi pengemudi,” ujar Yannes.

Di tengah polemik ini, sorotan tajam tertuju pada perusahaan aplikasi penyedia layanan ojol. Masyarakat dan pengemudi menuntut transparansi dalam perhitungan tarif dan pemotongan.

“Kalau potongan 30 persen itu digunakan untuk layanan pelanggan, perawatan aplikasi, atau iklan, harus jelas. Jangan hanya dipotong tanpa penjelasan,” ujar Indra, aktivis komunitas pengemudi online.

Komunitas pengemudi juga mendesak agar perusahaan menyediakan kanal komunikasi yang terbuka, bukan hanya melalui notifikasi sepihak dalam aplikasi.

Sejumlah pengemudi menyebut bahwa mediasi yang dilakukan selama ini belum cukup efektif.

Mereka meminta pemerintah untuk tidak hanya menjadi mediator, tapi juga sebagai pengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

“Kita ini sudah seperti pekerja penuh waktu, tapi tidak diakui sebagai pekerja. Kalau tidak ada perlindungan dari pemerintah, maka nasib kami akan terus begini,” ujar Iwan (41), pengemudi asal Surabaya.

Beberapa organisasi masyarakat sipil dan akademisi menyarankan adanya forum tripartit antara pemerintah, perusahaan aplikasi, dan perwakilan pengemudi. Forum ini bisa menjadi wadah penentuan tarif, sistem kerja, serta jaminan sosial.

Selain itu, sistem asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan yang menyeluruh juga perlu diberlakukan secara wajib, tidak hanya sekadar opsional yang dibebankan ke pengemudi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan