Kenaikan PPN 12 Persen Merupakan Produk Legislasi Ketika PDIP Berkuasa

Anggota Fraksi Gerindra DPR RI Novita Wijayanti di Kompleks Parlemen, Jakarta. -Foto: Antara-

KORANPALPOS.COM - Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Novita Wijayanti, menilai bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku mulai Januari 2025 adalah hasil dari produk legislasi yang disusun ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memegang kendali atas pemerintahan dan legislatif.

Menurut Novita, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur perubahan ini disahkan pada tahun 2021, dengan salah satu poin utamanya adalah kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.

Undang-undang ini adalah hasil kesepakatan antara pemerintah dan legislatif yang didominasi oleh PDIP pada saat itu.

BACA JUGA:Bagja : Tata Kelola Pemilu Semakin Baik Jika Bawaslu Tetap Permanen

BACA JUGA:8 Sengketa Calon Tunggal Pilkada 2024 Masuk ke MK : Daerah Mana Saja ?

"Sejatinya justru mereka (PDIP) yang mengusulkan dan memutuskan, sekarang seolah-olah melempar kesalahan kepada Pak Prabowo, di mana Pak Prabowo menjadi Presiden baru dua bulan," ujar Novita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (23/12).

Menurut Novita, ada kesan bahwa beberapa pihak sedang bermain politik dengan mencari simpati rakyat dengan seolah-olah menjadi korban dalam situasi ini.

Padahal, kebijakan kenaikan PPN tersebut sudah diputuskan pada periode pemerintahan sebelumnya, dan kini perlu diterima sebagai bagian dari kebijakan yang telah disepakati bersama.

 BACA JUGA:Waka Banggar Sebut Kebijakan Kenaikan PPN 12 Persen Diinisiasi PDI Perjuangan

BACA JUGA:Prabowo Terbitkan Perpres 202/2024 Tentang Pembentukan DPN

Sebelumnya, Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menyampaikan bahwa Fraksi PDIP meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen.

Deddy menjelaskan bahwa meskipun keputusan ini merupakan bagian dari kesepakatan periode sebelumnya, partainya tetap menganggap penting untuk mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini sebelum melaksanakan kebijakan tersebut.

"Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," jelas Deddy dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12).

BACA JUGA:DPR Ingin Pertahankan KPU-Bawaslu Sebagai Lembaga Permanen : Berikut Alasannya !

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan