Sebuah Kemunduran Demokrasi : Wacana Pemilihan Presiden Dikembalikan ke MPR

Senin 24 Jun 2024 - 22:03 WIB
Reporter : Robiansyah
Editor : Dahlia

Ahmad, salah seorang  warga Kota Palembang menilai, dirinya prihatin dengan wacana ini karena ini seperti menghapuskan hak pilih langsung rakyat yang telah diraih sejak reformasi. 

"Ini bisa menjadi langkah mundur bagi demokrasi kita," ujarnya, Senin (24/6).

Sedangkan Ida, warga Muara Enim mengatakan, pemilihan presiden langsung oleh rakyat merupakan bentuk kedewasaan demokrasi.

Dengan mengembalikan ke MPR lanjut dia,  bisa membawa risiko interpretasi politik yang lebih besar.

"Sudah seharusnya pemilihan presiden tetap dalam kendali langsung rakyat sebagai bentuk pemenuhan hak demokrasi yang sejati," tandasnya.

Senada dikatakan Edwin, warga  Musi Banyuasin (Muba).

Menurutnya Pilpres yang dipilih langsung oleh rakyat merupakan yang terbaik dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

"Demokrasi langsung tentunya yang terbaik. Jangan mundur ke belakang. Jika alasannya sogok atau rakyat bisa dipengaruhi, inilah yang menjadi poin kekurangannya yang kedepan terus dan terus harus kita perbaiki. Namun jika dikembalikan ke MPR jelas suatu kemunduran demokrasi dan siapa yang menjamin pemilihan presiden melalui MPR akan bersih dan tidak akan ada politik uang," ujarnya dengan nada bertanya.

Wacana ini telah menimbulkan berbagai diskusi di kalangan masyarakat Sumsel, dengan sebagian besar pendapat mengarah pada keinginan untuk mempertahankan pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagai salah satu tonggak utama dalam sistem demokrasi Indonesia.

" Karena pemilihan langsung merupakan bagian dari upaya untuk menjaga semangat reformasi. Kalau kembali dipilih MPR maka kualitas demokrasi yang  akan turun ke jurang yang paling dasar," ucap Ama, warga Kemuning Kota Palembang.

Sementara itu, Pengamat Sosial dan  Politik, M Haekal Al-Haffafah S.Sos, M.Sos mengatakan, secara prinsip prosedur melalui pemilihan langsung oleh rakyat pun melalui MPR sama-sama demokratis.

Hanya yang kemudian jadi kritik lanjut Haekal, adalah ada praktek-praktek demokrasi yang berjalan secara berhimpitan dengan mekanisme yang tidak demokratis.

"Bentuknya seperti apa? Bisa nepotisme, money politik, penyalahgunaan APBN, mobilisasi aparat lewat instrumen TNI/Polri, mobilisasi karyawan BUMN, mengkonversi birokrasi menjadi mesin politik yang bergerak melalui jejaring OPD-ASN dan seterusnya, itu yang kemudian dipersoalkan publik," ujarnya, Senin (24/6).

Yang mesti juga diingat, demokrasi juga lanjutnya, memberikan ruang untuk uji coba sehingga berbagai model prosedur pemilihan dalam kerangka kompetisi elit itu untuk bisa ditinjau ulang.

"Tetapi yang jelas begini, syindrom yang terjadi dalam demokrasi belakangan di Indonesia ini mengingatkan kita pada thesis Samuel P Huntington mengenai arus balik demokrasi, sebuah proses yang secara prosedural demokratis tapi kecenderungannya mengarahke model tirani," jelas Haekal.

Lebih lanjut kata Haekal, ada dua problem mendasar yang agaknya cukup serius apa itu, pertama, hilangnya party id (identitas kepartaian warga) yang kencenderungan semakin hilang, ini bukti bahwa kerja partai dan menjalankan peran pendidikan politik warga itu tidak ada. 

Tags :
Kategori :

Terkait