Keduanya menyasar konsumen yang menginginkan motor harian murah, irit, dan praktis.
Membawa masuk Saluto yang lebih mahal justru akan membebani strategi mereka, karena pasar Suzuki di Indonesia belum cukup besar untuk menopang model premium skutik retro.
4. Risiko Kalah Bersaing dengan Produk Lokal dan Motor Listrik
Selain Honda dan Yamaha, kini pasar Indonesia juga mulai dipenuhi merek motor listrik seperti Gesits, Selis, dan Polytron.
Segmen retro bahkan sudah disentuh motor listrik dengan harga lebih murah dibandingkan motor bensin impor seperti Saluto.
Hal ini membuat peluang Saluto semakin kecil, karena konsumen Indonesia lebih suka motor retro yang harganya masuk akal dan sesuai tren.
5. Brand Image Suzuki yang Sedang Menurun
Faktor lain yang tak kalah penting adalah brand image Suzuki di segmen roda dua Indonesia yang sedang meredup.
Suzuki dulu dikenal dengan Smash, Shogun, hingga Satria yang sempat melegenda. Namun dalam satu dekade terakhir, pamor Suzuki terus turun karena minim produk baru yang relevan dengan kebutuhan konsumen.
Dengan brand yang lemah di kelas skutik, membawa masuk Saluto akan sulit mendapat respon positif, kecuali ada gebrakan besar dari sisi promosi dan harga.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Saluto?
Kasus gagalnya Suzuki Saluto masuk Indonesia memberi beberapa pelajaran penting tentang strategi otomotif di Tanah Air:
Harga adalah faktor utama. Konsumen Indonesia sangat price-sensitive. Produk bagus tapi terlalu mahal akan sulit diterima.
Timing peluncuran menentukan. Jika Saluto masuk sebelum Fazzio hadir, mungkin ceritanya akan berbeda.
Namun setelah Scoopy dan Fazzio menguasai pasar, sulit bagi pendatang baru untuk masuk.
Brand power sangat berpengaruh. Honda dan Yamaha sudah memiliki komunitas besar, jaringan dealer, dan aftersales yang kuat. Tanpa dukungan ini, produk sehebat apapun bisa gagal.