Dibutuhkan transformasi struktural agar kelas menengah Indonesia benar-benar menjadi penggerak, bukan sekadar penikmat.
Rojali dan Rohana adalah dampak dari kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan struktural.
Konsumsi masyarakat memang menjadi penyumbang terbesar PDB, tetapi konsumsi tanpa produksi hanya menciptakan ilusi pertumbuhan.
Daya beli menurun, namun gaya hidup konsumtif tetap dipertahankan melalui utang, cicilan, atau subsidi.
Jika tidak diimbangi dengan penciptaan nilai tambah, transformasi industri, dan peningkatan daya saing, maka konsumsi ini hanya akan memperdalam jebakan pendapatan menengah.
Dalam konteks inilah, pemerintah dituntut tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga mendorong pemerataan, produktivitas, dan daya beli yang berkelanjutan.
Strategi pembangunan yang berorientasi pada hilirisasi industri, digitalisasi UMKM, dan insentif perpajakan adalah langkah awal yang penting.
Paket Kebijakan Ekonomi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah domestik melalui industri manufaktur, energi terbarukan, hingga pengembangan ekonomi digital berbasis talenta lokal.
Untuk memberikan respon strategis terhadap tantangan produktivitas dan daya beli yang berkelanjutan, salah satu pendekatan yang dilakukan Pemerintah adalah melalui peluncuran Paket Kebijakan Ekonomi 2025, yang terdiri dari enam klaster utama.
Dua di antaranya sangat relevan untuk mengubah arah ekonomi dari konsumsi ke produktivitas: insentif fiskal dan penguatan daya beli masyarakat.
Pertama, pemerintah memberikan insentif pajak untuk sektor padat karya dan industri hilirisasi.
Tujuannya adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas sektor manufaktur.
Dengan skema PPh ditanggung pemerintah (DTP) serta pembebasan pajak impor bahan baku tertentu, pemerintah berharap biaya produksi bisa ditekan dan industri dalam negeri menjadi lebih kompetitif.
Kelas menengah diharapkan tidak hanya menjadi pekerja pasif, tetapi juga pelaku usaha dalam ekosistem industri baru yang lebih terintegrasi.
Kedua, pemerintah memperluas program bantuan sosial dan subsidi energi yang lebih terarah, guna menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) berbasis data DTKS, serta pemberian subsidi listrik dan LPG yang lebih tepat sasaran, bertujuan meredam dampak inflasi serta memberi ruang fiskal bagi konsumsi yang produktif.