KORANPALPOS.COM – Lebaran selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat Indonesia.
Lebih dari sekadar perayaan keagamaan, Lebaran adalah ajang mempererat silaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan menumbuhkan kembali semangat kebersamaan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar berupa polarisasi politik yang semakin tajam.
Pemilu 2024 yang baru saja berlalu meninggalkan residu ketegangan, membuat perbedaan politik merasuk hingga ke ranah keluarga, komunitas, dan media sosial.
BACA JUGA:Bahaya ‘Balas Dendam’ Santap Hidangan Pascalebaran
BACA JUGA:Ingat ! Puasa Qadha Ramadhan Harus Didahulukan dari Puasa Syawal
Apakah Lebaran 2025 bisa menjadi momentum untuk merajut kembali persatuan?
Bagaimana kita sebagai bangsa dapat bergerak maju tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapat dan semangat demokrasi?
Polarisasi politik di Indonesia bukan lagi sekadar perbedaan pendapat, tetapi telah berkembang menjadi sekat-sekat sosial yang menghambat komunikasi dan kerja sama antarwarga.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN Lili Romli mengatakan polarisasi politik menyebabkan masyarakat terbelah dalam blok masing-masing sehingga mengganggu kohesi sosial dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
BACA JUGA:92 Narapidana di Sumsel Terima Remisi Idul Fitri Langsung Bebas
BACA JUGA:Puluhan Ribu Warga Palembang Shalat Idul Fitri di Jembatan Ampera
Survei Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) pada Maret 2023 menunjukkan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelompok besar: 57 persen cenderung pro-pemerintah dan 43 persen menunjukkan sikap oposisi yang lebih konservatif.
Adapun faktor-faktor utama yang memperparah polarisasi ini. Pertama, perbedaan pilihan politik dalam pemilu, khususnya dalam mendukung calon presiden tertentu.
Kedua, dugaan keterlibatan penguasa dalam mendukung salah satu kandidat secara tidak netral.