Uniknya, para muazin yang bertugas bukan sembarang orang.
Mereka berasal dari keluarga Keraton Kasepuhan dan Kanoman.
Jika ada yang meninggal, posisinya digantikan oleh anggota keluarga lainnya.
Syarat untuk menjadi muazin cukup sederhana, namun penting, yakni harus bisa membaca Al-Quran dengan fasih, memiliki iman yang kuat, serta berakhlak Islami.
Salah satu muazin, Munandi (35), telah menjalankan tugas ini selama tujuh tahun, meneruskan jejak ayahnya.
Bagi Munandi, menjadi bagian dari tradisi ini adalah tanggung jawab besar, sekaligus kebanggaan.
Ada rasa senang, tetapi juga beban karena ini adalah amanah yang harus dijaga.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri memiliki sejarah yang tidak kalah menarik.
Dibangun pada tahun 1480 oleh Sunan Gunung Jati, masjid ini didesain oleh dua tokoh besar, Sunan Kalijaga dan Raden Sepat.
Konon, pembangunannya hanya memakan waktu semalam, dikerjakan oleh 500 pekerja dari Kerajaan Majapahit, Demak, dan Cirebon.
Arsitektur masjid ini memadukan gaya Jawa dan Hindu Majapahit. Gapura di halaman masjid, atap yang menyerupai rumah joglo, serta mihrab yang dihiasi motif tertentu adalah bukti nyata akulturasi budaya yang terjalin di masa lampau.
Masjid ini memiliki sembilan pintu sebagai akses masuk. Pintu utama, yang hanya dibuka pada hari-hari besar Islam, melambangkan penghormatan dan kerendahan hati.
Sementara delapan pintu lainnya lebih rendah ukurannya, mengingatkan kalau semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan.
Pada bagian mihrab, terdapat tiga ubin yang dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang.
Ubin ini melambangkan iman, islam, dan ihsan, sebagai tiga pilar utama dalam ajaran Islam).
Mimbar masjid, yang diberi nama Sang Ranggakosa, juga memiliki desain unik dengan motif bunga dan rantai di setiap sisinya.