Kurangnya cairan dalam tubuh dapat menyebabkan sakit kepala, mulut kering, dan sulit berkonsentrasi.
Dehidrasi juga berpotensi membuat anak mengalami perubahan suasana hati atau mood swing.
"Anak yang melewatkan sahur berisiko mengalami perubahan mood seperti mudah marah, gelisah, atau stres akibat kurangnya energi yang cukup untuk mengontrol emosi," tambah Lucy.
Tidak hanya itu, masalah pencernaan seperti sembelit dan gastritis (asam lambung naik) juga dapat dialami oleh anak yang tidak melakukan sahur.
Lucy menjelaskan bahwa makanan sahur yang kaya akan serat sangat penting untuk menjaga kesehatan pencernaan.
Kurangnya asupan serat dapat memperlambat proses pencernaan dan menyebabkan gangguan pada saluran cerna.
Penurunan daya tahan tubuh juga menjadi dampak yang tidak bisa diabaikan.
Anak yang tidak sahur berisiko mengalami penurunan produksi sel-sel imun yang melawan virus dan bakteri. Hal ini membuat mereka lebih rentan terkena infeksi seperti flu, batuk, dan penyakit lainnya.
"Penurunan daya tahan tubuh dapat menghambat produksi sel-sel imun, sehingga anak lebih rentan terhadap infeksi," jelas Lucy.
Dampak lain yang cukup signifikan adalah penurunan kekuatan otot.
Jika tubuh tidak mendapatkan asupan energi dari makanan, maka tubuh akan mulai menggunakan cadangan lemak dan protein sebagai sumber energi.
Proses ini dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot dan membuat anak merasa lebih lemas.
Agar anak dapat menjalani puasa dengan optimal, Lucy menyarankan agar orang tua memperhatikan pola makan sahur anak.
Menu sahur yang sehat dan seimbang sebaiknya mengandung karbohidrat kompleks, protein, serat, dan cairan yang cukup.
Karbohidrat kompleks seperti nasi, roti gandum, dan oatmeal dapat memberikan energi yang bertahan lebih lama.
Protein dari telur, daging, atau kacang-kacangan membantu menjaga massa otot, sedangkan sayur dan buah menyediakan serat dan vitamin yang dibutuhkan tubuh.