Selain itu, mereka juga tersebar di wilayah SP Padang, Jejawi, Kayuagung, Pampangan, dan Pangkalan Lampam.
Suku Pegagan terbagi menjadi dua rumpun, yaitu Pegagan Ulu dan Pegagan Ilir.
Perbedaan ini lebih menekankan pada lokasi geografis dan pengaruh budaya yang diterima masing-masing kelompok.
Meski demikian, masyarakat Pegagan tetap memiliki kesamaan tradisi yang erat, seperti adat pernikahan, seni tari, dan ritual keagamaan.
Sungai Ogan memainkan peranan sentral dalam kehidupan suku Ogan Ilir. Sebagai jalur transportasi utama, sungai ini menjadi saksi perjalanan migrasi masyarakat dari dataran tinggi menuju dataran rendah.
Sungai Ogan juga menjadi sumber penghidupan, menyediakan air untuk irigasi, kebutuhan rumah tangga, hingga penangkapan ikan.
Keberadaan sungai ini turut memengaruhi pola pemukiman suku Ogan.
Mereka cenderung mendirikan rumah di sekitar aliran sungai, dengan arsitektur tradisional berupa rumah panggung yang khas.
Hal ini tidak hanya mencerminkan adaptasi mereka terhadap kondisi alam, tetapi juga menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan.
Budaya suku Ogan Ilir mencakup berbagai aspek, mulai dari bahasa, adat istiadat, hingga seni tradisional.
Bahasa Melayu Penesak dan dialek Pegagan menjadi identitas yang membedakan mereka dari suku-suku lain di Sumatera Selatan.
Suku ini juga dikenal memiliki tradisi adat yang kuat, terutama dalam hal pernikahan, musyawarah desa, dan upacara keagamaan.
Seni tari dan musik tradisional seperti Tari Gending Sriwijaya sering ditampilkan dalam acara adat maupun penyambutan tamu penting.
Seiring dengan perkembangan zaman, suku Ogan Ilir juga mengalami modernisasi.
Banyak dari mereka yang kini terlibat dalam berbagai sektor pekerjaan di kota-kota besar, seperti Palembang dan sekitarnya.
Namun, sebagian besar masyarakat masih mempertahankan tradisi leluhur, menjadikan modernisasi sebagai peluang untuk memperkenalkan budaya mereka kepada dunia luar.