Pada masa lalu, kapal-kapal tersebut biasa berkumpul di depan Benteng Kuto Besak (BKB), yang oleh orang Palembang dikenal sebagai laut binting.
Namun, setelah BKB dijadikan kawasan rekreasi, perahu-perahu tersebut kini lebih sering berlabuh di bawah Jembatan Ampera atau di sekitar Pasar 16 Ilir.
Salah satu cerita turun-temurun yang menunjukkan hubungan istimewa antara warga Tanjung Lago dan masyarakat Palembang adalah sebutan khusus Cek Agus yang digunakan untuk menyapa warga Tanjung Lago.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Sungai Lematang : Ikon Alam dan Identitas Budaya Masyarakat Lahat !
BACA JUGA:Asal Usul dan Legenda Gunung Seminung : Perjalanan Masyarakat Lampung dari Zaman Nabi Nuh !
Warga desa tersebut lebih merasa dihormati dan dihargai jika disapa dengan Cek Agus dibandingkan sapaan biasa seperti Pak atau Mamang.
Sapaan ini dipercaya berasal dari sejarah panjang, yaitu ketika desa ini memainkan peran penting dalam pembuatan perahu bidar bagi Kesultanan Palembang.
Menurut cerita, pada masa Kesultanan Palembang, Sunan Palembang merasa panik karena kehabisan pohon besar di wilayahnya untuk membuat perahu bidar, yang sangat diperlukan untuk sebuah pertandingan perahu dengan Sultan dari Kalimantan.
Sunan akhirnya mengadakan sayembara, menjanjikan hadiah berupa hubungan kekeluargaan dengan istana bagi siapa saja yang bisa membuat perahu bidar tersebut.
Tanjung Lago yang kala itu masih daerah terpencil, berhasil memenuhi tantangan tersebut.
Bidar yang dibuat oleh penduduk Tanjung Lago berhasil memenangkan perlombaan, sehingga Sunan Palembang memenuhi janjinya dan menjalin hubungan khusus dengan desa itu.
Anak-cucu pembuat bidar dari Tanjung Lago sejak saat itu diberi sebutan Cek Agus, sebuah nama kehormatan yang terus dihormati hingga sekarang.
Inilah sebabnya mengapa masyarakat Tanjung Lago dikenal dengan sapaan Cek Agus di lingkungan Palembang, menandakan adanya sejarah panjang yang mempererat ikatan mereka dengan Kesultanan Palembang.
Tanjung Lago juga memiliki peran penting dalam sejarah perlawanan masyarakat Palembang terhadap penjajahan Belanda.
Salah satu peristiwa penting adalah Pertempuran 10 November 1659, yang mempertemukan Kesultanan Palembang dengan agresor Belanda.
Pangeran Sido Ing Rajak, yang memimpin pertahanan Palembang, terpaksa mundur dari Kuto Gawang akibat kekalahan tersebut, dan beserta pengikutnya mengungsi ke berbagai wilayah, termasuk ke daerah-daerah sekitar Tanjung Lago.