JAKARTA, KORANPALPOS.COM - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan lain sebagainya boleh berpihak, namun tetap independen dalam cara berpikir dan bertindak.
"Netral, kalau dalam situasi yang tidak setara, artinya kita seakan-akan memperkuat orang yang punya kekuasaan, yang lebih dominan," ujar Bivitri dalam Kegiatan UIN Law Fair VII dan Penandatanganan MoU, dipantau dari Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2024.
Ia mencontohkan konflik antara Israel dengan Palestina.
Akademisi boleh berpihak kepada Palestina, sebab tidak mungkin tutup mata dan diam ketika ada yang tertindas.
BACA JUGA:Prakirakan Cuaca BMKG 25 Oktober 2024 : Mayoritas Wilayah di Indonesia Berawan !
BACA JUGA:PWI Ajak Dewan Pers dan Konstituen Rayakan HPN 2025 di Riau
"Nggak mungkin diam, ada yang tertindas. Maka, kita sebenarnya boleh sekali untuk tidak netral," ucap dia.
Akan tetapi, lanjut Bivitri, para akademisi harus tetap independen dalam penelitian dan cara berpikir.
Dalam kesempatan tersebut, Bivitri juga menyoroti pentingnya kesetaraan antara warga dan pemerintah.
Ia mengingatkan bahwa unsur-unsur berdirinya suatu negara didasari oleh penduduk, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan.
BACA JUGA:Siap Siaga Banjir : Pj Gubernur Sumsel Pimpin Simulasi Memukau di Sumsel !
BACA JUGA:Prakirakan Cuaca BMKG 23 Oktober 2024 : Cuaca Berawan di Sebagian Besar Kota di Indonesia !
"Penduduk dulu, bukan pemerintah. Jadi, negara itu ada karena kita, warga, dan tugas dari konstitusi adalah menyeimbangkan ini," ujar Bivitri.
Akan tetapi, terdapat ketidaksetaraan dalam relasi kuasa antara warga dengan penyelenggara negara.
Para penyelenggara negara memiliki fasilitas yang mengatur jalannya negara, seperti kemampuan untuk membentuk hukum, kepemilikan terhadap senjata, dan lain-lain.