Memahami Konsep Dzul-Wajhain (Bermuka Dua) dalam Islam: Definisi dan Penjelasan

Kamis 12 Sep 2024 - 08:29 WIB
Reporter : Mulyawan
Editor : Dahlia

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لا ينبَغِي لذِي الوَجهينِ أنْ يكونَ أَمينًا

“Orang yang memiliki dua wajah sebaiknya tidak dipercayai” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 238, Al Albani mengatakan, “hasan shahih”).

Ini menunjukkan bahwa sifat dzul-wajhain dapat merusak kepercayaan dan hubungan sosial, karena orang-orang dengan sifat ini tidak dapat diandalkan.

Penjelasan Ulama tentang Dzul-Wajhain

Bilal bin Sa’ad Rahimahullah, seorang ulama tabi’in, menjelaskan 

لا تكن ذا وجهين ، وذا لسانين ,تظهر للناس ليحمدوك وقلبك فاجر

“Janganlah Engkau menjadi orang yang mempunyai dua wajah dan dua lisan. Engkau menampakkan hal-hal terpuji di depan orang-orang, padahal hatimu fajir (penuh kemaksiatan)” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Al Ikhlash wan Niyyah, no. 25). Dengan kata lain, dzul-wajhain termasuk dalam kategori munafik, baik dari segi i’tiqadi (keyakinan) maupun amali (perbuatan).

BACA JUGA:Islam Bukan Agama Prasmanan: Mengapa Kita Harus Mengamalkan Ajaran Secara Keseluruhan

BACA JUGA:Hikmah Kehidupan: Saat Allah Menghendaki Kebaikan pada Diri Kita

Munafik i’tiqadi adalah seseorang yang tampaknya sebagai mukmin tetapi sebenarnya menyembunyikan kekufuran dalam hatinya. Sedangkan munafik amali adalah seseorang yang tampaknya sebagai orang saleh di hadapan publik, namun hatinya penuh dengan kefajiran atau kemaksiatan.

Dzul-Wajhain dalam Konteks Adu Domba

Sebagian ulama juga mengaitkan dzul-wajhain dengan perbuatan namimah (adu domba). Hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa 

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَجِدُ مِن شِرارِ النَّاسِ يَومَ القِيامةِ، الَّذي يأتي هؤلاء بِحَديثِ هؤلاء، وهؤلاء بِحَديثِ هؤلاء

“Engkau akan dapati seburuk-buruk manusia di hari kiamat adalah yang datang kepada sekelompok orang dengan suatu perkataan dan datang kepada sekelompok orang lainnya dengan perkataan yang lain” (HR. Ahmad no. 9171, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Kategori :