“Jumlah orang yang terkena dampak langsung dari bencana ini mencapai titik tertinggi baru. Masyarakat miskin terkena dampak yang tidak proporsional, yang memperburuk kesenjangan sosial,” jelas Tan.
Sebagai bagian dari komitmennya, Bank DBS berfokus pada transisi menuju ekonomi rendah karbon dengan menekankan pentingnya energi terbarukan dan efisiensi energi.
Pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik global saat ini telah mencapai 33 persen, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Namun, Tan menggarisbawahi bahwa selain meningkatkan pangsa pembangkit listrik bersih, para pemangku kepentingan perlu memastikan bahwa lebih banyak sektor dalam ekonomi global, seperti mobilitas, pemanas, dan pendingin bangunan, juga mendapatkan aliran listrik yang bersih.
Efisiensi energi harus ditingkatkan, dan sistem pangan global juga harus ditangani dengan baik.
Tan mengakui bahwa transisi ini tidak mudah, terutama di Asia yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.
Meskipun kontribusi historis dan emisi per kapita di Asia saat ini masih tergolong moderat, jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pesat dalam beberapa tahun terakhir telah membuat Asia menghasilkan 50 persen emisi dunia.
“Meskipun emisi per kapita masih moderat, pertumbuhan populasi dan ekonomi di Asia berarti bahwa kawasan ini kini menyumbang separuh dari emisi global. Oleh karena itu, langkah dekarbonisasi global yang sedang berlangsung perlu disesuaikan dengan tantangan spesifik yang dihadapi oleh negara-negara di Asia,” kata Tan.
Walau tantangan besar ada di depan mata, Tan tetap optimis bahwa langkah-langkah dekarbonisasi global yang sedang berlangsung dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Ia menekankan pentingnya mengkaji tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di Asia dan mengembangkan jalur dekarbonisasi yang relevan dengan masyarakat dan ekonomi di wilayah tersebut.
Dalam acara yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memberikan pandangannya mengenai dampak perubahan iklim.
Ia memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen pada tahun 2025.
“Ini (penurunan) cukup besar, 10 persen dari PDB. Setiap kali kita berusaha meningkatkan PDB sebesar 3 persen, seperti yang direncanakan untuk tahun 2024 dan 2025, kita perlu usaha yang sangat besar, terutama dengan banyaknya risiko negatif seperti perubahan iklim ini,” kata Sri Mulyani.
Bendahara Negara itu menekankan bahwa kehilangan 10 persen PDB tidak hanya mempengaruhi ekonomi, tetapi juga akan berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, terutama bagi generasi muda.