Refleksi Hari Pahlawan : Syarat Pahlawan, Tidak Korupsi !
--
Adapun pertanyaan mengapa keluarga tak mampu menjadi benteng bagi seseorang untuk tidak melakukan korupsi, adakalanya tuntutan gaya hidup keluarga yang justru menjadi pendorongnya.
Namun, apa pun yang menjadi pengaruh dan pendorong perbuatan korup, seseorang yang telah berusia dewasa--apalagi tua dan tidak tergolong orang gila--sudah barang tentu memiliki tanggung jawab otonom atas segala tindak perbuatannya.
Pemicu Korupsi
Perburuan mencari “pahlawan” dari kalangan aparat pemerintahan yang tidak melakukan korupsi akan menjadi tantangan tersendiri di tengah gegap gempita kerja lembaga antirasuah yang nyaris tanpa jeda. Tanpa ikut serta menghakimi para penyalahguna kekuasaan demi uang, ada baiknya kita mempelajari faktor pemicu korupsi.
Keserakahan menjadi faktor yang paling menonjol dari terjadinya tindak korupsi. Karena tren korupsi masa kini bukan atas alasan keterdesakan ekonomi, melainkan untuk memuaskan hasrat hidup bermewah-mewah. Gaya hidup, hobi, dan gengsi adalah tiga serangkai yang membuat gaji tinggi terasa tak pernah mencukupi.
Nilai moral adalah benteng bagi seseorang untuk mencegahnya berbuat melenceng dari norma. Bila benteng itu rapuh, maka ia akan dengan mudah berbuat salah dan menganggap remeh konsekuensinya.
Keluarga, semestinya menjadi pengingat ketika kepala atau ada anggota keluarga melakukan perbuatan menyimpang. Ibarat satu rangkaian anggota badan, jika terdapat organ yang tidak beres maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya, begitu pun keluarga. Bila ada yang berbuat salah, seluruh anggota keluarga akan turut terkena dampaknya. Jadi, idealnya sesama anggota keluarga saling peduli dan menjaga, agar semua berjalan pada lintasan yang benar.
Namun nyatanya, banyak kasus korupsi terjadi justru karena dorongan dan tuntutan gaya hidup anggota keluarganya, seperti istri dan anak-anaknya yang sosialita. Biaya pergaulan sosialita seolah tak terbatas yang membuat nominal gaji kepala keluarga--berapa pun besarnya--tak mampu memenuhinya.
Sikap dan kondisi sosial masyarakat, bisa jadi juga menjadi pelestari perilaku koruptif. Seperti sikap masyarakat yang permisif terhadap koruptor dan mudah melupakan jejak kelamnya. Diizinkannya para mantan napi korupsi sebagai pejabat publik, misalnya, adalah salah satu contoh sikap permisif masyarakat terhadap koruptor.
Pencegah korupsi
Hakikat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat. Masyarakat mengumpulkan uang dalam bentuk partisipasi membayar pajak yang dipercayakan kepada pemerintah untuk dikelola dan dikembalikan kepada warga dalam wujud pembangunan sarana prasarana umum.
Itulah mengapa tindak korupsi amat menyakiti hati masyarakat yang aktif dan patuh membayar pajak demi menjadi warga negara yang baik, dan tak semestinya masyarakat mudah memaklumi.
Kehadiran pejabat yang benar-benar bekerja, mendedikasikan diri pada pelayanan masyarakat, dan bersih dari penyimpangan, sungguh menjadi dambaan. Kita pun dengan bangga akan menyematkan gelar “pahlawan” pada sosok pujaan publik itu.
Namun untuk menghadirkan sosok-sosok pahlawan itu, tentu menjadi tanggung jawab kita bersama, mengingat adakalanya perilaku korup juga didorong oleh faktor eksternal. Semisal, kecenderungan warga mengambil jalan mudah dengan menyuap aparat untuk menebus sebuah pelanggaran.
Atau bila kita memiliki anggota keluarga yang mengemban jabatan di pemerintahan, janganlah bersikap aji mumpung yang dapat menjerumuskan dia menyalahgunakan wewenang. Bisa jadi ada peran kita (warga) yang secara tidak langsung turut melahirkan koruptor.