Mengapa Profesi Guru Rentan Dikriminalisasi
Amril Canrhas--
Kasus seperti Supriyani guru honorer ini bukan pula satu-satunya, masih banyak lagi guru yang dilaporkan dan diminta uang damai, menyedihkan.
Cukup mengherankan mengapa peristiwa seperti itu bisa sampai ke meja hijau. Keheranan itu bisa diurai berdasarkan fakta yang ada.
Pertama, guru itu menjalankan tugas yang dibebankan institusinya.
Kedua lokusi peristiwanya adalah ruang kelas yang menrupakan wilayah kekuasaan guru dan otoritas sekolah.
Ketiga, partisipan peristiwa itu adalah peristiwa berbahasa antara guru dan murid, pokok yang dibicarakan adalah persoalan pendidikan: bisa administratit, akademis dan sejenisnya.
Bila kita mengacu kepada teori sosiologi bahasa selaras dengan ilmu hukum, maka lokus pembicaraan itu sangat menentukan suatu perbuatan melanggar hukum atau tidak.
Ringkasnya, lokus seperti itu secara kuat dapat membatalkan dugaan bahwa perkataan bohong yang diucapkan guru itu tidaklah memenuhi unsur penghinaan terhadap murid.
Artinya tidak ada niat sengaja menghina, kecuali itu adalah strategi guru dalam memperoleh data yang benar untuk keperluan sekolah.
Sesungguhnya kasus seperti yang dialami guru SMA 3 Bengkulu itu tidak sampai ke persidangan (meja hijau) bila terlapornya menggunakan hak-haknya sebagai terlapor.
Hak terlapor itu dijamin oleh undang-undang yaitu memberikan keterangan yang sebenarnya yaitu keterangan saksi fakta dan saksi ahli.
Saksi ahli bisa menjelaskan unsur yang diduga terlanggar itu tidak terpenuhi.
Dengan begitu kasusnya bisa dinyatakan tidak berlanjut.
Adalah sebuah kenyataan bahwa sering guru diposisikan sebagai terlapor, tersangka dan terdakwa dan dipidana oleh wali murid sehingga terkesan guru itu dengan mudah dikriminalisasi.
Dari sejumlah kasus terlihat bahwa guru sebagai terlapor tidak mengetahui dan tidak diberitahu dengan baik hak-haknya sebagai terlapor.
Dengan demikian guru sebagai terlapor bisa disemena-menakan.