Digitalisasi Penting, tapi Bijak Kelola Keuangan Lebih Penting
Korban memperlihatkan SMS ancaman yang diterimanya dari aplikasi pinjaman "online" ilegal-Foto : ANTARA -
Satgas PASTI juga memblokir 68 tawaran investasi ilegal terkait penipuan yang dilakukan oleh oknum dengan modus meniru atau menduplikasi nama produk, situs, maupun sosial media milik entitas berizin dengan tujuan untuk melakukan penipuan (impersonation).
Berkaitan dengan temuan tersebut, Satgas PASTI tidak tinggal diam.
Setelah melakukan koordinasi antaranggota, Satgas PASTI melakukan pemblokiran dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti sesuai ketentuan.
Sejak 2017 hingga 30 September 2024, Satgas telah menghentikan 11.389 entitas keuangan ilegal yang terdiri atas 1.528 entitas investasi ilegal, 9.610 entitas pinjaman online ilegal/pinpri, dan 251 entitas gadai ilegal.
Satgas PASTI berdasarkan data Desember 2023, beranggotakan OJK, Bank Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Informasi, Kementerian Sosial, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Lembaga, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Satgas PASTI juga memiliki perwakilan di daerah yang meliputi 31 tingkat provinsi, tujuh tingkat kota, dan tujuh tingkat kabupaten.
Salah satu sebab mengapa masyarakat masih terjebak dalam mengakses layanan sektor keuangan ilegal itu ditengarai karena masih rendahnya literasi keuangan masyarakat, khususnya literasi keuangan digital.
Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK Djoko Kurnijanto beberapa waktu lalu mengatakan, peningkatan literasi keuangan digital mendorong masyarakat bijak melakukan aktivitas keuangan dan memahami risiko keuangan, sehingga tidak terjebak dengan pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online.
“Karena sumber dari sekarang ini yang muncul permasalahan ini di media karena rendahnya literasi keuangan digital. Apakah itu penggunaan aplikasi judol. Banyak yang kena pinjol ilegal, misalnya, dan juga aplikasi-aplikasi yang lain. Kenapa ini terjadi? Karena literasi keuangan digital kita yang memang masih rendah dan perlu ditingkatkan,” katanya.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2024, indeks literasi dan inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 65 persen dan 75 persen.
Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) 2023 menunjukkan indeks literasi digital Indonesia baru mencapai 62 persen dan yang paling rendah dibandingkan negara ASEAN yang rata-rata mencapai 70 persen.
Patut dicermati pernyataan Djoko Kurnijanto ini.
Menurut dia, di balik kemudahan yang ditawarkan dari kehadiran inovasi dan teknologi seperti kecerdasan artifisial, blockchain, kripto, machine learning, ada potensi risiko yang harus diketahui bersama, misalnya, penipuan.
Untuk itu, masyarakat perlu lebih meningkatkan pemahaman risiko dan bijak dalam mengelola keuangan agar tidak mengalami kerugian finansial akibat pinjol ilegal dan judi online.
Menurut OJK, layanan keuangan ilegal itu memiliki ciri-ciri seperti berikut: tidak memiliki legalitas; mengenakan bunga, denda dan biaya yang sangat tinggi; proses penagihan tidak beretika; akses data pribadi berlebihan; lokasi kantor tidak diketahui, bahkan sebagian dioperasikan dari luar negeri sehingga susah untuk diselesaikan jika tejadi kasus; dan sering menggunakan SMS spam untuk menawarkan produk.