Penjaga Warisan Budaya Tenun Setagen
Penjaga Warisan Budaya Tenun Setagen-Foto : ANTARA -
Produksi tenun di desa tersebut pernah memasuki masa kejayaannya pada tahun 1966-1980.
Namun saat ini kawasan sentra penghasil tenun setagen itu hanya tinggal menyisakan beberapa perajin tenun setagen yang masih bertahan dan semuanya telah lanjut usia.
Dengan alat tenun rakitan kayu seadanya atau yang dikenal dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), para perajin itu setiap hari memproduksi setagen.
Sekitar tahun 1990-an, desa itu menjadi sentra penghasil tenun setagen.
Banyak penenun yang menggantungkan hidupnya dari kerajinan itu.
Seiring perkembangan zaman satu per satu para perajin terpaksa menutup usahanya karena terus merugi.
Penyebabnya yakni semakin berkurangnya permintaan pasar hingga naiknya harga bahan baku benang tapi harga jual kain tenun setagen cenderung stagnan.
Pada akhirnya, kerajinan tenun setagen mulai terpinggirkan.
Salah satu perajin yang masih bertahan adalah keluarga Jinal Jito Haryono.
Meski dengan segala keterbatasan, menurutnya hanya pekerjaan tersebut yang bisa ia lakukan bersama istrinya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Di dalam rumahnya terdapat dua alat tenun tradisional.
Salah satunya yang biasa dipakai Suharti, sedangkan alat tenun satunya yang sudah tampak usang biasanya dipakai Jinal Jito Hartono.
Namun semenjak Jito didiagnosa stroke ia sudah tidak mampu lagi menjalankan alat tenun itu.
Ia hanya bisa melakukan pekerjaan ringan seperti memintal benang untuk membantu istrinya membuat kain setagen.
Kedua anaknya enggan meneruskan usaha tenun kedua orang tuanya.