Bukit ini menjadi tempat kontemplasi, tempat belajar tentang kerendahan hati, dan pengingat akan hubungan manusia dengan semesta.
Secara bentuk, masyarakat adat menggambarkan Bukit Layang menyerupai lingkaran kepala ular simbol kekuatan dan penjaga dunia dalam banyak tradisi kosmologi Nusantara.
Kepala ular juga dimaknai sebagai titik awal kehidupan, yang memayungi dan melindungi isi lingkarannya: dalam hal ini, masyarakat dan dataran subur tempat mereka hidup.
Simbol kepala ular juga digunakan untuk menggambarkan kesatuan, bahwa meski anak cucu Kerio Agung telah menyebar hingga ke tiga provinsi, mereka tetap berada dalam satu “lingkaran” ikatan darah dan nilai-nilai leluhur.
Setelah masa kepemimpinan Kerio Agung dan ketiga tokoh lainnya, anak cucu mereka menyebar mengikuti perkembangan zaman dan dinamika alam.
Wilayah sebaran komunitas keturunan Bukit Layang saat ini dikenal berada di lintas perbatasan Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi, menunjukkan pengaruh dan jangkauan historis Bukit Layang yang cukup luas.
Komunitas-komunitas ini masih membawa identitas leluhur mereka, dengan berbagai variasi nama marga dan adat yang berkembang sesuai tempat mereka bermukim.
Beberapa wilayah bahkan masih melakukan ritual tahunan yang berakar dari ajaran Bukit Layang, sebagai bentuk penghormatan terhadap asal-usul mereka.
Meskipun kaya akan nilai sejarah dan spiritual, Bukit Layang belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan resmi sebagai situs cagar budaya nasional.
Upaya pelestarian lebih banyak dilakukan oleh komunitas lokal dan pemerhati budaya.
Padahal, situs ini memiliki potensi besar untuk dijadikan destinasi wisata sejarah dan spiritual yang dapat mendukung perekonomian masyarakat sekitar.
Tokoh masyarakat dan aktivis budaya berharap pemerintah daerah maupun pusat dapat memberikan perhatian lebih terhadap Bukit Layang, baik dalam bentuk pelestarian fisik, dokumentasi sejarah, hingga integrasi dalam program wisata budaya.
“Bukit Layang bukan hanya tempat tinggal leluhur kami, tetapi juga pusat nilai-nilai yang membentuk masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Sudah selayaknya ia dijaga dan diwariskan secara lebih serius,” ujar seorang keturunan Kerio Peniking yang kini bermukim di Jambi.
Lebih dari sekadar bukit, Bukit Layang adalah jejak peradaban tua yang menyimpan nilai-nilai kesatuan, spiritualitas, dan toleransi.
Di tengah percampuran pengaruh Hindu dan Islam, Bukit Layang menjadi bukti bahwa harmoni dapat tumbuh di antara keberagaman.
Warisan tokoh-tokoh seperti Kerio Agung dan saudara-saudaranya bukan hanya hidup di buku sejarah, tetapi juga dalam identitas kolektif masyarakat yang tersebar di tiga provinsi.