Uniknya, sorgum bukanlah tanaman yang biasa dikonsumsi manusia secara langsung, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan baku bioetanol tidak akan mengganggu pasokan pangan.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Sebut Bendungan Leuwikeris Menelan Biaya Paling Besa
BACA JUGA:Pondasi Kehidupan Ibu Kota Nusantara
Di saat pangan menjadi isu global, sorgum menawarkan solusi yang seimbang: menjadi sumber energi tanpa menambah beban bagi ketahanan pangan.
Karena itu, sorgum menjadi nilai tambah bagi Pertamina, karena perusahaan milik negara itu bisa memastikan bahwa pengembangan bioetanol tidak akan bersinggungan dengan kebutuhan makanan masyarakat.
Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, harus menghadapi tantangan besar dalam sektor transportasi yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca.
Berangkat dari kenyataan itulah, kita menemukan pentingnya beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
BACA JUGA:Pondasi Kehidupan Ibu Kota Nusantara
BACA JUGA:Dinas PPPA Sumsel Berikan Penghargaan Kecamatan Penuhi Hak Anak
Saat ini, sektor transportasi menyumbang sekitar 23 persen dari total emisi gas rumah kaca.
Karena itu kita harus bertindak cepat.
Dengan keberhasilan program B35, yakni 35 persen bahan bakar berbasis nabati dicampurkan dengan bahan bakar fosil, Pertamina mengambil langkah strategis untuk mengurangi emisi.
Meskipun demikian, upaya itu tidak bisa berhenti di sini.
Perusahaan di bawah BUMN itu perlu meningkatkan proporsi bahan bakar nabati dalam campuran dengan bahan bakar dari fosil itu.
Bioetanol dari sorgum adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan itu.
Di tengah kemajuan teknologi, tim di Pertamina terus melakukan penelitian mendalam untuk mengembangkan bioetanol dari sorgum.