Pemilu 2024 atau Pemilu Milenial

Tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2024 tiba di Balai Sidang JCC Senayan, Jakarta-Foto : Antara-

Buktinya, sejak akhir Agustus 2023, serangan-serangan digital dalam kurun pemilu kurang 6 bulan pun sudah dibumbui dengan isu-isu "kuno", seperti pemilu-pemilu sebelumnya, yakni PKI/komunis, SARA, dan pro-kontra yang justru membuat perbedaan semakin menonjol.

Kenyataan ini membawa keadaan pada suasana rentan bagi bangsa kita yang ekstra majemuk.

BACA JUGA:Round Up Hari Ke-51, Komitmen Paslon Dalam Penguatan Antikorupsi

BACA JUGA:KPU RI Minta Paslon Kurangi Jumlah Walpri di Debat Keempat

Sebagai contoh, ada kandidat X yang "diserang" dengan pelanggaran HAM yang kasusnya sudah terjadi belasan tahun silam.

Ada pula kandidat Z yang "diserang" isu non-pribumi.

Ada pula kandidat Y yang diserang sebagai "petugas partai", dan isu SARA atau isu lainnya yang tidak substansial.

Tidak hanya "membelokkan" informasi-informasi lama untuk "kampanye" asal menyerang, namun pemilu digital di tangan generasi non-digital juga tidak jarang mengampanyekan informasi-informasi baru berpola hoaks.

Buktinya, seorang anggota Komisi I DPR RI menghitung dari Maret sampai Juni 2023 atau pemilu masih kurang setahunan sudah ada 425 berita hoaks, dengan dominasi berita politik.

Bahkan, selama tiga tahun (2021-2023) ada 15.000 berita hoaks yang ditindak oleh aparat penegak hukum.

Karena itu, mengenai persatuan dan kesatuan bangsa harus selalu digaungkan agar kita tidak terjebak pada jurang terpecah belah akibat berita hoaks.

Peringatan agar kita tidak mudah terprovokasi dengan berita yang belum jelas harus selalu diteriakkan.

Ya, kampanye digital dengan isu-isu pemilu yang hoaks dan juga kampanye digital dengan "membelokkan" informasi lama (framing), agaknya justru terlalu rentan bagi generasi yang tidak paham digital, atau "tidak saleh" secara digital. (ant)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan