Satu Kata : Stop Politik Uang !

Ilustrasi politik uang pada pilkada serentak 2024-Foto: Istimewa-

Bawaslu sempat memanggil dan meminta keterangan dari terlapor, yakni calon gubernur yang juga petahana, pada 24 Oktober lalu.

Kasus ini masih berproses, terlapor akan meneruskan pula penanganan kasus itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Tidak hanya kasus atas temuan dugaan politik uang dan upaya yang dilakukan atas kasus tersebut, sebuah survei juga ada yang menunjukkan bahwa Pilkada 2024 dibayang-bayangi dengan praktik politik uang.

Survei dari Skala Institute bersama Ragaplasma Research, misalnya, pada tanggal 1--7 Oktober lalu, melakukan survei terhadap 400 responden dengan metode multistage sampling atau sampel bertingkat, dengan margin of error 5 persen, di enam kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Majalengka, Kota Cirebon, dan Kota Bandung.

Hasil survei itu menunjukkan responden yang menjadi pemilih paling banyak tergiur politik uang yang kemudian mengubah pilihan suara adalah di Kabupaten Bekasi, yakni sebesar 45,38 persen.

Sementara untuk daerah lain masih di bawah Kabupaten Bekasi.

Padahal dari survei itu terdapat gambaran bahwa 58 persen responden berpendidikan SMA dan 22,5 persen lulusan perguruan tinggi; lalu sebanyak 38,25 persen berpenghasilan menengah atas dan 32 persen berpenghasilan rendah.

Meskipun dari survei menunjukkan bahwa salah satu dari tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bekasi meraih elektabilitas sekitar 40 persen, responden menjawab dapat dengan mudah mengubah pilihan akibat beberapa hal dan yang tertinggi adalah faktor pemberian uang, barang, maupun jasa.

Perubahan itu dapat terjadi pada seminggu terakhir hingga hari H pencoblosan.

UU Pilkada telah mengamanahkan bahawa calon kepala daerah yang terbukti memberikan uang untuk memengaruhi penyelenggara maupun pemilih, dapat digugurkan pencalonannya jika sudah ada keputusan dari Bawaslu.

Pasal 73 ayat (1) menyebutkan, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih; ayat (2) berbunyi calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. 

Seperti halnya hasil penetapan KPU RI tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sempat disengketakan, hasil pilkada juga sangat dimungkinkan terjadi sengketa pemilu.

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI dalam raker dengan Komisi III DPR RI pada 4 September lalu memperkirakan terdapat 324 perkara sengketa pemilu atau sekitar 59,45 persen dari 545 daerah yang menggelar pilkada.

Perkiraan tersebut dengan berkaca pada pengalaman menangani sengketa pilkada pada tahun 2017, di mana terdapat 60 perkara atau 59,41 persen dari 101 daerah yang menggelar pilkada saat itu.

Itu persentase sengketa pilkada paling tinggi yang pernah dialami.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan