Calon Tunggal Bukti Kegagalan Demokrasi Sistem Kepartaian
Pengamat politik dari FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman, MPA.--Foto: Antara
Pasal 54 D ayat (2) Undang-Undang Pilkada mengatur jika pasangan calon tidak mencapai ambang batas (50 persen plus dari suara sah) maka pasangan calon tersebut dinyatakan kalah, namun berhak untuk mencalonkan diri kembali dalam pemilihan berikutnya.
Kemudian pasal 54 D ayat (3) mengatur pemilihan berikutnya dapat diadakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya ayat (4) mengatur jika sampai saat itu belum ada pasangan calon yang terpilih maka pemerintah akan menunjuk penjabat gubernur, bupati, atau walikota untuk mengisi posisi tersebut.
BACA JUGA:4 Parpol Nyatakan Dukungan ke Teddy-Marjito : Bawaslu Ingatkan ASN Netral !
BACA JUGA:PDIP Resmi Umumkan 16 Calon Bupati dan Walikota untuk Pilkada 2024 : Berikut Daftar Lengkapnya !
"Jadi, jika merujuk pada skema serentak maka jadwal pemilihan akan diadakan lima tahun berikutnya. Potensi permasalahan akan muncul ke depan dengan calon tunggal sehingga sebaiknya calon tunggal dapat dihindari," katanya.
Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej itu menambahkan pengalaman Pilkada Kota Makassar tahun 2018 ketika pasangan calon tunggal kalah melawan kotak kosong, mengakibatkan Kota Makassar dipimpin penjabat kepala daerah selama dua tahun.
"Jika mengikuti aturan yang ada, ketika pasangan calon tunggal kalah pada Pilkada Serentak 2024, maka penjabat berpotensi memimpin selama lima tahun sehingga hal itu menimbulkan persoalan khususnya pada aspek legitimasi dan demokrasi," ujarnya. (ant)